Sabtu, 11 Mei 2013

STRUKTURALISME GENETIK-Pierre Bourdieu-



Hallo Indonesia! :) 
Artikel di bawah ini adalah hasil karya ku dan kelompok saat semester 4. Walaupun masih memiliki banyak kekurangan, namun ini ku anggap sebagai proses untuk meningkatkan keterampilan menulis... 

KORUPSI ANGELINA SONDAKH
(ANALISIS STRKUTURALISME GENETIK BOURDIEU)

STRUKTURALISME GENETIK
-Pierre Bourdieu-


Dasar Pemikiran Bourdieu
            Karya terbesar Bourdieu adalah srukturalisme genetik yang berusaha untuk mendamaikan kubu obyektivisme dan kubu subyektivisme.  Menurut Bourdieu, tidak obyektivisme, tidak subyektivisme, keduanya memiliki kekurangan dalam hal-hal tertentu, dan tidak mungkin bisa berdiri sendiri dengan melupakan pengaruh salah satu pihak.
            Bourdieu mendapatkan pemahaman tentang obyektivisme dari beberapa tokoh seperti Durkheim, Saussure,  dan Marx . Bourdieu tidak sepenuhnya setuju dengan pemikiran kaum obyektivisme yang dianggap terlalu memihak pada struktur. Perpektif ini dikritik karena menekankan pada struktur objektif dan mengabaikan proses konstruksi sosial melalui proses mana aktor merasakan, memikirkan, dan membangun struktur dan kemudian mulai bertindak berdasarkan struktur yang dibangunnya itu. Obyektivisme terlalu mengabaikan agen sedangkan Bourideu lebih menyukai pandangan teoritisi obyektivisme tanpa mengabaikan agen.
   Bukan saja obyektivisme yang dikritik oleh Bourdieu, subyektivisme pun demikian. 2 pemikir (ada juga yang lain seperti Schutz dan Garfinkel) yang memberikan ilham kepada Bourdieu yaitu seperti Sartre dan Blumer. Dari pemikiran subyektivisme Sartre dan Blumer yang terkesan terlalu mendewakan agen, seakan-akan struktur tidak mempunyai kekuatan memaksa dan menekan. Bourdieu mengkritik paham tersebut, Ia merasa, para kaum subyektivisme melangkah terlalu jauh dan memberi terlalu banyak kekuasaan kepada aktor dan dalam proses itu dia mengabaikan batasan struktural terhadap para aktor itu.Menurutnya, agen tidak bebas dalam bertindak, ada hal-hal yang diinternalisasi oleh agen yang kemudian seolah-olah merupakan hasil dari apa yang diproduksi oleh agensi. Agen terlibat dalam suatu permainan/aturan dan tidak semua pilihannya murni berasal dari individu itu sendiri.
            Dari beberapa pertimbangan diatas, Bourdieu pun menciptakan istilah stukturalisme konstruktivis, atau konstruktivisme strukturalis atau strukturalisme genetis. Ia berusaha untuk menyatukan keduanya.

Konsep Dasar Dalam Teori Strukutralisme Genetik
            Yang pertama yaitu Struktur dan agen. Struktur menurut Bourdieu bukan hanya terbatas pada pengertian umum seperti aturan dan tatanan norma sosial. Menurutnya, struktur adalah segala sesuatu yang berada diluar individu. Barang benda adalah struktur, bahasa dan simbol adalah struktur. Sedangkan agen, diartikan sebagai individu atau sering dibahasakan dengan sebutan aktor yang dapat bertindak.
            Yang kedua yaitu Habitus. Menurut Bourdieu, habitus memiliki kekuatan yang terdapat dalam diri setiap individu. Agen mempunyai kemampuan untuk menginternalisasikan struktur dan mengeksternalisasikan struktur. Maka itu, menurut Bourdieu, yang pertama, habitus dapat dipengaruhi oleh pengalaman dan sejarah individu. Sejarah membentuk habitus, sejarah diinternalisasi oleh manusia. Yang kedua, struktur mempengaruhi habitus, tapi juga bisa sebaliknya. Dan yang terakhir Doxa mempengaruhi habitus. Dimana ada nilai-nilai baru yang diinternalisasikan oleh individu. Ketiga hal diatas membentuk habitus seorang Individu, Doni sebagai Doni dan Doni adalah Doni. Habitus menurut Bourdieu adalah cara pembawaan kita, persepsi individu  tentang suatu objek, apa yang dipikirkan oleh individu.
Habitus dapat dirumuskan sebagai sebuah sistem disposisi-disposisi (skema-skema persepsi(Matrix of perceptions), pikiran(appreciations), dan tindakan(actions) yang diperoleh dan bertahan lama). Agen-agen individual mengembangkan disposisi-disposisi ini sebagai tanggapan terhadap kondisi-kondisi obyektif yang dihadapinya. Sistem disposisi itu tentang  apa yang kita lihat, kita nilai, dan kita internalisasikan menjadi sebuah skema yang seakan-akan memang telah terstruktur, itulah habitus. Jadi, habitus adalah sumber penggerak tindakan, pemikiran, dan representasi. Habitus dikonkretkan lewat tindakan individu. Habitus bersifat dinamis, terus berubah sesuai dengan di ranah apa sekarang kita berada.
Yang ketiga, Ranah. Ranah diartikan sebagai arena perjuangan dan persaingan. Bisa berarti sebuah tempat atau kelompok sosial (Haryatmoko, 2003: 11) . Misalnya ranah politik, ranah pendidikan, kampus semua termasuk ranah. Dimana ada struktur dan agen yang saling melakukan hubungan resiprositas didalamnya, itulah ranah. Arena menurut Bourdie adalah jaringan relasi antar posisi subyektif yang keberadaan relasi-relasi ini terpisah dari kesadaran dan kehendak individu. Relasi tersebut, bukan intersubyektif antar individu yang menduduki posisi, bisa jadi harapan agen  atau institusi itu terhambat oleh struktur arena itu sendiri. Dalam ranah, semua yang dipunyai individu diperjuangkan agar dia tetap bertahan. Struktur pun berada dalam ranah, struktur menyajikan sebuah aturan main, pola hubungan, pola bahasa, aturan sopan santun, dan sebagainya yang mengarahkan agen untuk bertindak. Namun bukan berarti struktur yang mendominasi dalam sebuah ranah karena agen juga mempunyai kemampuan untuk berimprovisasi sesuai dengan habitus dan modal yang dia miliki. Modal dan habitus dipertaruhkan dalam proses pertarungan di sebuah ranah. Jika individu tidak mampuh, maka ia akan terlempar dalam lingkaran permainan tersebut.
Bourdieu melihat arena sebagai lahan pertempuran dimana arena juga merupakan arena perjuangan yang menopang dan mengarahkan strategi yang digunakan oleh orang –orang yang menduduki posisi ini untuk berupaya baik individu maupun kolektif, mengamankan atau meningkatkan posisi mereka dan menerapkan prinsip hierarkisasi yang paling cocok untuk produk mereka.
Di sisi lain arena juga merupakan hal yang sejenis dengan pasar kompetitif yang di dalamnya berbagai jenis modal yang digunakan dan dimanfaatkan, namun adalah arena kekuasaan (politik) yang paling penting, hierarki hubungan kekuasaan dalam arena politik berfungsi menstrukturkan semua arena lain.  Sehingga menurut Bourdieu modal adalah  segala aspek kebutuhan yang harus dimiliki dan diusahakan oleh setiap manusiademi menjaga kelangsungan hidupnya baik fisik maupun biologisnya.
Posisi dari berbagai agen di arena tersebut ditentukan oleh jumlah dan bobot relative modal yang mereka kuasai. Bourdieu bahkan juga menggunakan gambaran militer untuk menggambarkan arena dengan menyebutnya “penempatan dan pendudukan strategis yang harus dipertahankan dan dikuasai di arena pertempuran”. Adalah modal yang memungkinkan orang mengendalikan nasibnya sendiri maupun nasib orang lain. Dalam ranah ekonomi, modal ekonomi cenderung berupa insentif, modal cultural terdiri dari berbagai pengetahuan yang legitim, modal sosial terdiri dari hubungan social bernialai antar orang sedangkan modal simbolis tumbuh dari harga diri dan prestise.
Orang yang menduduki posisi dalam arena tersebut menjalankan berbagai macam strategi. Gagasan ini menunjukan actor dalam pemikiran Boudie paling tidak memiliki sedikit kebebasan dimana habitus tidak menegaskan kemungkinan kalkulasi strategi dari pihak agen, namun strategi tidak merujuk pada dijalankannya secara aktif alur tindakan yang berorientasi obyektif yang mematuhi regularitas dan membentuk pola-pola kehendak yang dapat dipahami secara rasional.
            Yang keempat yaitu Modal. Modal menurut Bourdieu adalah alat untuk berjuang. Modal melekat dengan habitus dan menentukan posisi individu dalam sebuah ranah. Modal bisa berubah, lenyap, dan bertambah sesuai dengan kondisi yang dihadapkan didepan agen atau agensi, modal pun diperjuangkan sesuai dengan harapan individu tentang modal tersebut. Dalam memandang sebuah modal, Bourdieu berbeda dengan Marx dan bahkan mengkritik Marx karena terlalu menyederhanakan makna modal. Jika menurut Marx modal hanya terpaku pada ekonomi, maka Bourdieu berpendapat lebih dari itu, modal memiliki 4 bentuk, yaitu modal ekonomi, modal kultural, modal sosial dan modal simbolik.
Awalnya, secara spesifik, Bourdieu hanya memaparkan 3 modal yaitu modal budaya, modal sosial dan modal ekonomi. Pertanyaan kenapa modal simbolik tidak dimasukkan dalam modal yang spesifik, keberadaan modal simbolik terdapat dalam setiap modal lain. Modal ekonomi tidak dapat berdiri sendiri karena dalam sebuah kehidupan, modal lain juga menentukan dan menyokong perjuangan seorang individu dalam sebuah ranah. Modal ekonomi diartikan sebagai sarana produksi dan sarana finansial yang bisa dikonversikan menjadi modal-modal lain. Modal kultural yang berupa pengetahuan, keterampilan dan modal simbolik yang berupa harga diri atau prestise. Dalam pandangan Bourdieu (1977:183) modal simbolik merupakan suatu bentuk modal ekonomi fisikal yang telah mengalami transformasi dan karenannya telah tersamarkan, menghasilkan efeknya yang tepat sepanjang, menyembunyikan fakta bahwa ia tampil dalam bentuk-bentuk capital ‘material’ yang adalah pada hakikatnya sumber efek-efeknya juga.
            Bourdieu menjelaskan modal budaya dalam tiga dimensi: yaitu dimensi manusia yang wujudnya adalah badan, objek dalam bentuk apa saja yang pernah dihasilkan oleh manusia dan institusional, khususnya menunjuk pada pendidikan. Dimensi manusia dari modal budaya adalah:
1.      Embodied state yaitu keadaan yang membadan atau keadaaan yang terwujud dalam badan manusia atau yang menyatu seluruhnya dengan manusia sebagai satu kesatuan dengan kata lain terinternalisasi dalam individu. Modal budaya menurut Bourdieu, tidak bisa terbangun secara instan. contoh orang kaya tidak selamanya harus tinggal dirumah mewah dengan lingkungan yang bersih, asri dan rindang. Ada pula orang kaya yang tinggal di dalam gang sempit dengan lingkungan yang tidak sebersih dan seindah tempat tinggal orang kaya sebelumnya.
2.      Objectified state. Sementara dimensi objek dari capital budaya, dikenal sebagai objectified state yaitu suatu keadaan yang sudah dibendakan atau dijadikan objek oleh manusia (objektifikasi dalam materi). Ada elemen yang diakui secara sosial sehingga dalam masyarakat menilai dan memahami suatu arti yang sama. Contohnya, musik jazz dan mozart (materi) yang diidentikan sebagai aliran musik kelas menengah keatas dengan ritme irama yang kompleks dan berat.
3.      Institutionalized state. Adapun dimensi institusional dari capital budaya menunjukkan suatu keadaan dimana benda-benda itu sudah menunjukkan entisitas yang sama sekali terpisah dan mandiri, yang diperlihatkan dalam system pendidikan. Dengan demikian, capital budaya menunjuk yang pada keadaan yang berwujud potensial, bagi seseorang yang diuangkan atau dipertukarkan dengan kapital-kapital lainnya (terlegitimasi lembaga sosial). Seperti pendidikan yang terlegitimasi melalui sekolah (Lawang, 2004: 16-18). 
Dari ketiga poin diatas, terlihat jelas usaha Bourdieu untuk menyatukan antara individu dan masyarakat. Poin pertama, menekankan pada peran individu bahwa modal budaya berasal dari proses internalisasi yang dilakukan individu sedangkan pada poin kedua, objektifitas materi juga mempengaruhi. Maka itu, modal budaya memiliki bersifat subjektif dan objektif.
   Bukan saja modal budaya yang berpengaruh, namun juga modal sosial, yang memuat elemen penting seperti. Jaringan. Yang terbangun dari interaksi-relasi-jaringan. Keanggotaan dalam kelompok. Seperti rasa memiliki dan termasuk dalam sebuah kelompok, sehingga para anggotanya merasa memiliki identitas yang sama. Seperti: antar sesama etnis tionghoa. Jika ada orang cina yang belanja di toko orang cina, maka sangatlah mungkin dia akan mendapatkan potongan harga, berbeda dengan orang madura yang belanja ke toko orang cina, akan sangat kecil kemungkinan harganya normal bahkan dinaikan lebih tinggi dari biasanya. Kepemilikkan modal kolektif. Dari modal sosial, kita bisa mendapatkan kepemilikan modal bersama. Tanpa disadari, relasi yang kita bangun menciptakan rasa memiliki antar keanggotaan dan hal ini akan menjadi ikatan yang berlangsung lama, beriringan dengan itu pula, segala modal dan kepemilikan disana menjadi milik bersama (Bourdieu, 1984:127).
Dari keempat modal diatas, tidak ada yang mendominasi, semua seimbang. Karena modal yang satu  bisa dikonversi menjadi modal yang lain. Tidak ada modal budayalah yang paling dominan, atau modal ekonomi atau modal sosial dan modal simbolik. Karena Bourdieu berbicara tentang Praktik bukan berbicara tentang tindakan.
            Yang Kelima, Praktik. Bourdieu memusatkan perhatiaan pada praktik untuk mengelakkan dilema antara obyektivisme dan subyektivisme . Disebabkan karena menurutnya praktik merupakan hasil hubungan dialektika antara struktur dan keagenan . Dalam hal ini praktik tidak ditentukan secara obyektif , tetapi bukan pula hasil dari kemauan bebas. Praktik memiliki rumus sendiri yaitu Habitus x Modal x Ranah= Praktik. Dengan kata lain, habitus yang membawa modal untuk bersaing dalam sebuah ranah adalah praktik karena individu menkolaborasi ketiga unsur tadi. Contohnya jika kita melihat usaha seorang Andi untuk menang merebut hati orangtuanya. Dalam field yaitu keluarga, para agen yang terdiri dari ayah, ibu dan anak-anak sebenarnya juga memiliki sesuatu yang mereka perjuangkan. Andi dan ketiga kakak beradiknya yang lain saling memperebutkan kasih sayang orang tua yang lebih besar. Dengan mengandalkan modal budaya, pengetahuan Andi yang luas karena dia dianggap murid yang cerdas, ayah dan ibu selalu memenuhi keinginan yang diminta Andi karena mereka merasa Andi telah melakukan kewajibannya yaitu belajar, Habitus Andi juga mempengaruhi dalam proses ini, Ia harus berusaha keras belajar dan mencintai buku, dengan begitu Ia dapat mendapatkan pengetahuan yang lebih luas selain yang Ia dapatkan dari sekolah. Uraian diatas tersebut adalah praktik dari seorang Andi.
            Yang keenam, Modus dominasi. Bourdieu mencoba menunjukkan bahwa agen dan masyarakat akan terus memproduksi dan mereproduksi pembedaan dalam lingkungan mereka. Pembedaan (distinction) akan terus ada, karena setiap individu memiliki kadar modal yang berbeda-beda antara satu dan lainnya. Dan tanpa disadari, kepemilikan tersebut menciptakan identitas tersendiri bagi mereka yang merasa punya kesamaan dalam hal modal. Hal tersebut akan lebih terlihat jika kita melihat bentuk selera setiap orang. Menurut Boudieu, selera tercipta bukan dengan tiba-tiba dan bersifat instan, melainkan melalui proses jangka panjang atau habitus. Selera ternyata juga praktik yang antara lain membantu memberikan seorang individu maupun orang lain pemahaman mengenai posisinya di dalam tatanan sosial. Selera mengungkapkan sistem representasi yang khas pada kelompok sosial tertentu, posisi mereka dalam masyarakat dan keinginan untuk menempatkan diri dalam tangga kekuasaan. Selain distiction dan selera, adapun istilah kekerasan simbolik yang digunakan Bourdieu untuk menunjukkan sebuah kekerasan yang tak disadari.
            Dalam pandangan ini, kekuasaan simbolik merupakan sebuah kekuasaan pentahbisan, sebuah kekuasaan untuk menyembunyikan atau menampakkan sesuatu lewat simbol. Dalam menyembunyikan dominasinya, kekuasaan simbolik menjalankan bentuk-bentuk yang halus agar tak dikenali. Begitu halusnya praktik dominasi yang terjadi menyebabkan mereka yang didominasi tidak sadar bahkan mereka menyerahkan dirinya untuk masuk ke dalam lingkaran dominasi. Dominasi yang mengambil bentuk halus inilah yang disebut Bourdieu sebagai kekerasan simbolik (symbolic violence), yaitu sebuah kekerasan yang lembut (a gentle violence), sebuah kekerasan yang tak kasat mata (imperceptible and visible). Secara lebih lengkap, kekerasan simbolik merupakan suatu bentuk kekerasan yang halus dan tak tampak yang dibaliknya menyembunyikan praktik dominasi.
            Dan yang ketujuh, Doxa, Ortodoxa dan Heterodoxa. Doxa akan lebih mudah dipahami sebagai wacana yang dominan atau sesuatu yang taken for granted. Suatu pemahaman itu ada dan tidak perlu dipertanyakan lagi karena memang sudah mencapai suatu kebenaran yang diketahui bersama. Dunia yang tidak dipertanyakan lagi menurut Bourdieu disebut undisputed truth. Adapun Orthodoxa yaitu wacana yang terus mempertahankan keberadaan doxa dan mempunyai tugas penting dalam menjaga integritas yang dimiliki doxa. Orthodoxa bisanya terdiri dari kelompok-kelompok dominan yang berkuasa untuk terus mempertahankan wacana yang berkaitan dengan kepentingan mereka serta secara langsung selalu berlawanan dengan kelompok yang terdominasi lewat Heterodoxa yaitu wacana yang bertentangan dengan Doxa. Pertentangan antara Ortodoxa dan Heterodoxa terjadi dalam ruang yang disebut Bourdieu dengan the universe of discourse (Bourdieu, 1977:177).

KORUPTOR WANITA (KASUS WISMA ATLET,
ANGELINA SONDAKH)
            Seperti yang kita ketahui bersama, akhir-akhir ini, kasus korupsi mulai membeberkan sejumlah nama wanita seperti Nunun Nurbaeti, Miranda S Goeltom, Wa Ode Nurhayati, dan Mindo Rosalina Manulang. Tak dapat dielakkan bahwa seorang Ibu yang semestinya menjadi panutan untuk anak-anaknya yang nanti terjun ke dalam masyarakat malah terjerat kasus korupsi yang biasanya identik dengan kegiatan yang dilakukan oleh kaum Adam. Sama halnya dengan Angelina Sondakh yang diharapkan dapat berbakti demi memajukan bangsa Indonesia menjadi lebih baik karena gelar Putri Indonesia 2001 yang telah digapainya. Namun berbanding terbalik dengan apa yang terjadi saat ini, Angelina merupakan tersangka kasus korupsi wisma atlet dan juga dianggap menerima bagian dari “Apel Malang”. Kasusnya hingga saat ini masih mengambang dan sepertinya KPK bertindak sangat lambat dalam hal ini, mungkin dianggap bisa berabe jika kasus ini terus diusut karena bisa merusak citra salah satu partai terbesar di Indonesia, yaitu Demokrat. Dalam paper ini, kami akan lebih menyoroti ke Angelina Sondakh (Angie), yang bisa merepresentasikan pola hidup para wanita lainnya yang dianggap sebagai koruptor.
            Jika melihat latar belakang keluarga Angelina Sondakh yang berasal dari Manado, dapat dikatakan dia berasal dari keluarga yang berada dan terdidik. Lihat saja sejumlah prestasi yang telah disandang oleh seorang Angelina Sondakh, dari Juara debat ilmiah, juara pidato berbahasa inggris se Sulawesi Utara, sampai Juara Puteri Ayu dan Miss Indonesia tahun 2001. Sosoknya yang smart, cantik, anggun, dan dianggap wanita sayang keluarga ini sering dipuja-puji dan didukung oleh para penggemarnya sekalipun sekarang memang dia sedang terkait dengan kasus korupsi. Namun, benar atau tidak keterkaitan dia di kasus tersebut tidaklah penting karena kelompok kami akan mencoba menganalisis dari sisi strukturalisme genetik seorang Angelina Sondakh.
            Angie sama halnya dengan para koruptor wanita lainnya, sering diidentikan dengan gaya hidup glamour, dianggap telah terbiasa dengan tas bermerk internasional, sepatu dengan motif tertentu, baju yang berasal dari perancang ternama, dll. Itu semua bukanlah salah mereka, karena itu sudah menjadi habitus para wanita kaya yang hidup dalam jabatan elite. Tanpa Angie sadari, Ia telah terinternalisasi dalam suatu pola pikir tentang bagaimana seharusnya penampilannya di publik sebagai penyandang miss Indonesia dan anggota DPR. Melihat biografi Angie, kehidupannya selalu berbarengan dengan prestasi-prestasi, dan namanya populer kembali saat  ia menikah dengan Adjie.  Ada kemungkinan besar bahwa pola pandang Angie tentang orang populer harus seperti apa ditampilkan oleh dirinya. Belum lagi dengan pengaruh para kaum elite sekarang yang lebih menekankan pada kekayaan pribadi daripada mensejahterakan masyarakat. Bisa saja, tindakan korupsi Angie dipengaruhi oleh lingkungan Pemerintah yang sudah rusak  dengan sistem korupsi berjamaah. Namun disisi lain, Angie pun mempunyai pola hidup glamour dan tidak bisa terlepas dari uang yang berjumlah banyak karena dia harus tetap merawat dan menjaga penampilannya untuk terus terlihat cantik didepan publik. Dari analisis kelompok kami, Angie secara tidak sadar tertekan dengan gelar yang disandangnya apalagi saat Ia masuk ke ranah pemerintah dengan iklim korupsi seperti sekarang ini.
Habitus yang bekerja di bawah sadar, akan membentuk selera pribadi secara nyata melalui cara individu menerapkan sistem klasifikasi tersebut. Sistem klasifikasi tsb beroperasi secara dikotomis seperti tinggi/rendah, maskulin/feminim, putih/hitam, baik/buruk, dan seterusnya. Habitus membentuk “Selera” (Taste), yang akhirnya bisa mempengaruhi gaya hidup manusia secara individu, maupun kelompok. Begitu pula dengan Habitus Angie yang terlihat dari seleranya dalam berpakaian, pola makan, mobil, musik, cara berdandan, aksesories yang dia gunakan sampai cara berbicara Angie yang khas dari golongan terpelajar yang benar-benar menunjukkan berbagai prestasi yang perah diraihnya. Dari situ, selera tadi menunjukkan ada distinction bahwa ternyata wanita yang bekerja sebagai elite parpol/ pemerintah yang basicnya sebagai seorang artis memiliki gaya hidup mereka sendiri. Berbeda dengan wanita yang memang benar-benar berkecimpung lama didunia pemerintahan atau wanita yang tidak memiliki latar belakang dari dunia hiburan. Mereka biasanya menunjukan eksistensi diri mereka melalui image yang didapat dari karir keartisannya, berbeda dengan orang yang memang sudah lama berkecimpung di ranah pemerintahan, cenderung akan menunjukan dunia politik, seperti Sri Mulyani Misalnya dia mampuh menunjukan kepopulerannya melalui prestasi yang di perolehnya sebagai salah satu direktur World Bank. Jadi, dapat dilihat bahwa Angelina Sondakh yang memiliki basic artis mengandalkan popularitasnya sedangkan Sri Mulyani memang murni karena prestasi dan kepandaiannya sebagai seorang ekonom, sehingga selera dan gaya hidup Angline lebih tinggi daripada Mulyani. Mulai dari label tas, model kacamata, model celana, ataupun kebiasaan mereka setiap hari pun berbeda. Angie mungkin harus ke salon setiap hari dan mempertahankan perawatan tubuhnya sedangkan Mulyani dengan tampilannya yang sederhana ternyata mempunyai wawasan berpikir yang lebih cerdas dari Angeline. Namun walaupun begitu, Angie ternyata bisa dengan mudah masuk di dunia politik dan berpartisipasi didalam ranah pemerintahan.
            Saat terjerat dalam kasus korupsi, ada beberapa modal yang terlihat digunakan Angie dalam melancarkan tindakannya, yang pertama yaitu  modal ekonomi, sudah jelas ini yang paling menentukan berhasil tidaknya proses tawar-menawar untuk melakukan tindakan korupsi dengan para aparatur-aparatur terkait.  Yang kedua yaitu modal budaya, pengetahuan dan kelihaian Angie yang tercermin saat Ia bertutur kata dan melobi yang membawanya masuk kedunia Pemerintahan dan dipercayakan menjadi anggota DPR dari partai Demokrat, jika dilihat dari dimensi embodied state, contohnya Angie sebagai politikus muda yang berwajah cantik dan sri mulyani sebagai politikus senior berbeda dalam hal gaya hidup walaupun mereka berdua memiliki tingkat ekonomi yang sama-sama tinggi, dari dimensi objektivikasi state dapat dilihat dari gaya hidup glamour yang tercermin dari stylenya Angeline dan dari dimensi Institutionalized state  terlihat dari pendidikan S2-nya sehingga Ia dapat meraih gelar miss Indonesia 2001. Yang ketiga modal sosial yaitu jaringan, kenalan, sangat terlihat dalam kasus korupsi yang terkait tidak mungkin dia melakukannya sendiri karena kasus ini juga akan menjerat para aktor korupsi selain Angie dan kemungkinan besar pula kasus ini mengorbankan Angie seakan-akan Ia aktornya karena dampak dari jaringan yang bisa juga dimanfaatkan oleh seseorang untuk menjatuhkan pamor Angeline yaitu Demokrat. Demokrat juga bisa menjadi modal sosial yang kuat, karena kekuatan jaringan dalam parpol ini akhir-akhir ini menunjukkan taringnya sehingga seakan-akan kasus yang bersangkutpaut dengan orang internal Demokrat lebih sulit untuk ditangani oleh pihak kepolisian dan para jaksa. Kemungkinan besar karena ini adalah partainya Bapak Presiden, walaupun Beliau tidak memiliki kekuasaan atau tidak menjabat lagi sebagai seorang Ketua Partai Demokrat, namun ia memiliki otoritas yang kuat. Sehingga dapat disimpulkan bahwa hasil dari jaringan yang kuat dari partai ini adalah kekuasaan yang menjadi kepemilikan bersama bagi para anggotanya. Yang keempat, modal simbolik yaitu berasal dari pendidikan Angie (S2) dan gelar miss Indonesia.Modal simbolik menciptakan sebuah prestise kepada seorang Angie, Ia dianggap sosok yang cerdas dan lihai dalam berututur kata, itu terlihat saat Ia mengikuti proses hingga ia terpilih menjadi juara Miss Indonesia 2001. Modal ini juga bisa digunakan Angie saat Ia melakukan tindakan korupsi seakan-akan masyarakat tidak akan tahu karena gelar yang dibawanya menunjukkan citranya.
            Semua modal sudah dimiliki olehnya, tidak ada yang kurang sedikit pun. Namun ternyata modal-modal tersebut bisa juga disiasati untuk melakukan korupsi atau untuk menempatkan Angie sebagai aktor korupsi. Maksud kelompok kami, Pandangan masyarakat yang berasal dari modal budaya, yang selalu menyangkutpautkan wanita dengan gaya hidupnya memang merupakan titik lemah wanita untuk dijadikan sebagai korban. Jika ia tidak jeli, ia bisa saja tidak menyadari bahwa dirinya telah masuk perangkap para kerabatnya yang sebenarnya aktor utama tindakn korupsi. Walaupun modal sosial yang dimiliki Angie cukup kuat, para aktor korupsi lainnya juga tidak kalah dalam hal membangun jaringan dan melobi, sehingga dapat terlihat sekarang banyak orang-orang yang diduga sebagai ikan paus tidak ditangkap, terlindungi oleh benteng raksasa, malahan dari sekian aktor yang terlibat, nama-nama yang dibeberkan kaitannya dengan kasus korupsi wisama atlet hanya itu-itu saja, paling hanya Angie, angie dan angie itupun status seperti apa masih mengambang bahkan ia sempat bekerja kembali sebagai anggota DPR padahal dirinya masih terkait masalah korupsi. Hal ini tidak mungkin terjadi jika modal sosial dan modal ekonomi (seperti kasus penyuapan jaksa) bermain disini. Modal simbolik sudah jelas berada didalam ketiga modal tersebut, modal sosial, budaya dan ekonomi menunjukkan bahwa dia seorang elite yang kaya, terhormat, dengan harga diri yang tinggi, sehingga para jaksa dan pihak KPK pun takluk untuk mengusut tuntas kasus yang membawa nama dirinya apalagi melihat posisi Angie yang berasal dari salah satu partai besar, partai Presiden RI kita, Demokrat.
            Setelah adanya modal dan habitus, posisi Angie yaitu berada diranah pemerintahan (politik dan dunia partai) dan ranah hiburan (dunia keartisan).  Disana dia menemukan modal baru, modal budaya korupsi, dan jaringan serta sindikat-sindikatnya. Modal ekonomi yang tercipta dari transaksi gelap antar para pejabat, dan perubahan pemahaman tentang visi misi dari seorang Pemerintahan sejati ke interest saja. Dan diranah itu ia akan bersaing dengan para aktor lain supaya tidak terkena kasus korupsi, tapi ternyata Ia terjerat kasus tersebut karena nyanyian dari seorang Nazaruddin, diranah tersebut modal ekonomi dan modal sosial bisa sangat efektif digunakan oleh Angie untuk menentukan  nasibnya, di dalam jeruji besi atau bebas dengan perlindungan para stakeholder. Seorang Angie memang memiliki habitus, dan dia bisa berimprovisasi untuk memanfaatkan modal-modal tadi untuk bisa survive dalam sebuah field hingga kebutuhannya tercapai.
            Walaupun bukan fakta yang sebenarnya, beberapa kemungkinan diatas hanya merupakan analisis kelompok kami jika dipandang dari perspektif strukturalime genetiknya Bourdieu. Kemungkinan ganda terlihat dari sisi Angie dan strukturnya. Bisa saja memang Angie yang rakus akan kekayaan sehingga ia terus haus akan keberlimpahan padahal latar belakang keluarga memang sudah berada apalagi suaminya yang kaya raya itu. Tapi bisa saja Angie hanyalah korban yang diciptakan oleh struktur. Sistem Pemerintahan yang korup akan terus mencari korban untuk menutupi wajahnya didepan masyarakat. Dengan mencari korban yang dianggap akan sangat mempengaruhi perhatian masyarakat pada dirinya yaitu sosok yang seharusnya mengabdi pada masyarakat dengan gelar “luar biasa” untuk seorang wanita cantik dan cerdas yaitu Miss Indonesia. Dari penjelasan tersebut sebenarnya bisa dijelaskan kekerasan simbolik yang berasal dari konstruksi sosial masyarakat. Seorang wanita sering diidentikan sebagai makhluk yang lemah, manja, sensitive berbeda dengan pria. Pandangan tersebut bisa saja menjadi kelemahan atau bahkan kekuatan wanita. Wanita yang dianggap lemah sangat mudah menjadi sasaran empuk kasus korupsi, karena sikap dia yang tidak ingin ikut dapat bagian “apel malang”, dan sikap keibuan yang sering terbawa dalam setiap tindakannya, menjadi objek dan korban yang paling mudah, apalagi dengan pandangan masyarakat yang beranggapan bahwa wanita identik dengan kegilaannya terhadap perhiasan dan sering menggoda lelaki sehingga pantas saja jika seorang Angie terjerat kasus korupsi apalagi dengan kecantikkannya yang bisa menggaet lelaki manapun untuk  membantunya agar tidak terjerat hukum yang berat. Tapi beberapa pendapat diatas tidaklah bermaksud untuk pro atau membela Angie, karena didalam konstruksi sosial masyarakat, seorang wanita yang lemah lembut bisa saja menggunakan simbol tersebut sebagai senjata melawan pria jika berurusan dengan masalah politik.
            Dan analisis terakhir dari kelompok kami yaitu Doxa, Ortodoxa dan heteredoxa dalam kasus korupsi yang dilakukan oleh Angie. Yang jelas menjadi kenyataan yang tidak bisa dipungkiri sekarang yaitu Doxa, wacana bahwa namanya Pemerintah pasti korupsi, yang namanya politik itu kotor. Istilah-istilah itu tidak bisa dilepas dari alam pikir masyarakat, apalagi jika kita bertanya pada rakyat miskin yang merupakan korban utama pendominasian yang tidak menguntungkan oleh pihak yang terdominasi.
Ortodoxa berasal dari masyarakat dan diri Angie sendiri. Kasus korupsi sudah sering terjadi di Indonesia, sehingga masyarakat sudah menganggap itu adalah hal yang biasa bahwa Angie korupsi. Sudah tentu menurut mereka, perempuan dengan penampilan yang mencerminkan kekayaan yang tidak main-main,  masuk ke dunia pemerintahan dan bergelut di ranah politik, ujung-ujungnya akan korupsi juga. Sama halnya dengan Sri Mulyani, yang dikenal sosok cerdas, toh jadi tersangka juga dalam kasus korupsi, kasus yang sama dengan Angie. Yang terinternalisasi pemikiran seperti itu bukan saja masyarakat, tapi lebih lagi dari pribadi Angie sendiri, dia merasa tindakan menyimpang dalam dunia politik adalah hal yang bisa, malah sudah menjadi sesuatu yang lumrah jika dia korupsi dan tidak menjadi masalah kalau masyarakat tau dan mencacinya, karena suhu panas juga akan menurun dengan sendirinya, disapu oleh wacana lain yang bisa dialihkan oleh media.
            Lalu heterodoxa yang biasanya muncul dari kaum terpelajar dan pengkritik KKN di Indonesia. Mereka sering demo, memunculkan wacana anti korupsi dan usaha-usaha lainnya yang bisa membangunkan masyarakat bahwa sebenarnya korupsi bisa membunuh bangsa secara perlahan-lahan. Namun, usaha ini lebih sering gagal daripada berhasil jika diterapkan, buktinya saja tidak ada yang berani melawan atau membuka kasus sekaligus dalang utama suatu kasus korupsi dan berani menindak serta menangkap sang dalang tersebut. Seperti pasir di lautan, tidak mungkin akan mengambang dipermukaan air laut, tapi ia akan senantiasa dibawah dan menunggu kapan tiba saatnya dia diangkat keluar air, menimbun dan menutupi seluruh permukaan air menjadi daratan. Seperti itulah heterodoxa dalam kasus ini, sepanjang perjalanan politik, doxa diatas belum berhasil disingkirkan di Indonesia. Apriori tentang dunia politik di negara kita memang tinggi dan memerlukan proses dan usaha yang lebih giat lagi untuk menciptakan image positif dari bangsa untuk negara.



DAFTAR PUSTAKA

Bourdieu, Pierre. 1977. Outline Of Theory of Practice. Cambridge: Polity Press
_____________.  1984. Distinction: A Social Critique of the Judgement of Taste
(Translated by Richard Nice). United State Of America: Harvard College
Haryatmoko. 2003. Menyingkap Kepalsuan Budaya Penguasa: Landasan Teoretis Gerakan Sosial Menurut Pierre Bourdieu, dalam Jurnal Kebudayaan Basis, Nomor 11–12, Tahun ke-52, November–Desember
Ritzer, George dan Douglas Goodman. 2004. Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Kencana
Lawang, R.M.Z. 2004. Kapital Sosial Dalam Perspektif Sosiologik: Suatu Pengantar. Jakarta: FISIP UI
Koran Kompas. Seruan Jujur Untuk Angeline Sondakh. (Selasa, 1 Mei 2012, penulis: Virna Puspa Setyorini)
Daftar kekayaan Angeline Sondakh. (Diakses tanggal 25 April 2012 di http://www.tribunnews.com/2012/02/05/ini-kekayaan-angelina-sondakh)






Tidak ada komentar:

Posting Komentar