Hallo Indonesia! :)
Artikel di bawah ini
adalah hasil karya ku dan kelompok saat semester 4. Walaupun masih memiliki
banyak kekurangan, namun ini ku anggap sebagai proses untuk meningkatkan
keterampilan menulis...
KORUPSI ANGELINA SONDAKH
(ANALISIS STRKUTURALISME
GENETIK BOURDIEU)
STRUKTURALISME GENETIK
-Pierre Bourdieu-
Dasar Pemikiran Bourdieu
Bourdieu mendapatkan pemahaman
tentang obyektivisme dari beberapa tokoh seperti Durkheim, Saussure, dan Marx . Bourdieu tidak sepenuhnya setuju dengan pemikiran kaum
obyektivisme yang dianggap terlalu memihak pada struktur. Perpektif ini
dikritik karena menekankan pada struktur objektif dan mengabaikan proses
konstruksi sosial melalui proses mana aktor merasakan, memikirkan, dan
membangun struktur dan kemudian mulai bertindak berdasarkan struktur yang
dibangunnya itu. Obyektivisme terlalu mengabaikan agen sedangkan Bourideu lebih
menyukai pandangan teoritisi obyektivisme tanpa mengabaikan agen.
Bukan saja obyektivisme yang
dikritik oleh Bourdieu, subyektivisme pun demikian. 2 pemikir (ada juga yang
lain seperti Schutz dan Garfinkel) yang memberikan ilham kepada Bourdieu yaitu
seperti Sartre dan Blumer. Dari pemikiran subyektivisme Sartre dan
Blumer yang terkesan terlalu mendewakan agen, seakan-akan struktur tidak
mempunyai kekuatan memaksa dan menekan. Bourdieu mengkritik paham tersebut, Ia
merasa, para kaum subyektivisme melangkah terlalu jauh dan memberi terlalu
banyak kekuasaan kepada aktor dan dalam proses itu dia mengabaikan batasan
struktural terhadap para aktor itu.Menurutnya, agen tidak bebas dalam
bertindak, ada hal-hal yang diinternalisasi oleh agen yang kemudian seolah-olah
merupakan hasil dari apa yang diproduksi oleh agensi. Agen terlibat dalam suatu
permainan/aturan dan tidak semua pilihannya murni berasal dari individu itu
sendiri.
Dari beberapa pertimbangan diatas,
Bourdieu pun menciptakan istilah stukturalisme konstruktivis, atau
konstruktivisme strukturalis atau strukturalisme genetis. Ia berusaha untuk
menyatukan keduanya.
Konsep Dasar
Dalam Teori Strukutralisme Genetik
Yang pertama yaitu
Struktur dan agen. Struktur menurut Bourdieu bukan hanya terbatas pada
pengertian umum seperti aturan dan tatanan norma sosial. Menurutnya, struktur
adalah segala sesuatu yang berada diluar individu. Barang benda adalah
struktur, bahasa dan simbol adalah struktur. Sedangkan agen, diartikan sebagai
individu atau sering dibahasakan dengan sebutan aktor yang dapat bertindak.
Yang kedua yaitu Habitus.
Menurut Bourdieu, habitus memiliki kekuatan yang terdapat dalam diri
setiap individu. Agen mempunyai kemampuan untuk menginternalisasikan struktur
dan mengeksternalisasikan struktur. Maka itu, menurut Bourdieu, yang pertama, habitus
dapat dipengaruhi oleh pengalaman dan sejarah individu. Sejarah membentuk habitus,
sejarah diinternalisasi oleh manusia. Yang kedua, struktur mempengaruhi habitus,
tapi juga bisa sebaliknya. Dan yang terakhir Doxa mempengaruhi habitus.
Dimana ada nilai-nilai baru yang diinternalisasikan oleh individu. Ketiga hal
diatas membentuk habitus seorang Individu, Doni sebagai Doni dan Doni
adalah Doni. Habitus menurut Bourdieu adalah cara pembawaan kita,
persepsi individu tentang suatu objek,
apa yang dipikirkan oleh individu.
Habitus dapat
dirumuskan sebagai sebuah sistem disposisi-disposisi (skema-skema persepsi(Matrix
of perceptions), pikiran(appreciations), dan tindakan(actions)
yang diperoleh dan bertahan lama). Agen-agen individual mengembangkan
disposisi-disposisi ini sebagai tanggapan terhadap kondisi-kondisi obyektif
yang dihadapinya. Sistem disposisi itu tentang apa yang kita lihat, kita nilai, dan kita
internalisasikan menjadi sebuah skema yang seakan-akan memang telah
terstruktur, itulah habitus. Jadi, habitus adalah sumber penggerak
tindakan, pemikiran, dan representasi. Habitus dikonkretkan lewat
tindakan individu. Habitus bersifat dinamis, terus berubah sesuai dengan
di ranah apa sekarang kita berada.
Yang ketiga, Ranah. Ranah diartikan sebagai arena
perjuangan dan persaingan. Bisa berarti sebuah tempat atau kelompok sosial
(Haryatmoko,
2003: 11) . Misalnya ranah politik, ranah pendidikan, kampus semua termasuk
ranah. Dimana ada struktur dan agen yang saling melakukan hubungan resiprositas
didalamnya, itulah ranah. Arena menurut Bourdie adalah jaringan relasi antar
posisi subyektif yang keberadaan relasi-relasi ini terpisah dari kesadaran dan
kehendak individu. Relasi tersebut, bukan intersubyektif antar individu yang
menduduki posisi, bisa jadi harapan agen
atau institusi itu terhambat oleh struktur arena itu sendiri. Dalam ranah,
semua yang dipunyai individu diperjuangkan agar dia tetap bertahan. Struktur
pun berada dalam ranah, struktur menyajikan sebuah aturan main, pola hubungan,
pola bahasa, aturan sopan santun, dan sebagainya yang mengarahkan agen untuk
bertindak. Namun bukan berarti struktur yang mendominasi dalam sebuah ranah
karena agen juga mempunyai kemampuan untuk berimprovisasi sesuai dengan habitus
dan modal yang dia miliki. Modal dan habitus dipertaruhkan dalam proses
pertarungan di sebuah ranah. Jika individu tidak mampuh, maka ia akan terlempar
dalam lingkaran permainan tersebut.
Bourdieu melihat arena sebagai lahan pertempuran
dimana arena juga merupakan arena perjuangan yang menopang dan mengarahkan
strategi yang digunakan oleh orang –orang yang menduduki posisi ini untuk
berupaya baik individu maupun kolektif, mengamankan atau meningkatkan posisi
mereka dan menerapkan prinsip hierarkisasi yang paling cocok untuk produk
mereka.
Di sisi lain arena juga merupakan hal yang sejenis
dengan pasar kompetitif yang di dalamnya berbagai jenis modal yang digunakan
dan dimanfaatkan, namun adalah arena kekuasaan (politik) yang paling penting,
hierarki hubungan kekuasaan dalam arena politik berfungsi menstrukturkan semua
arena lain. Sehingga menurut Bourdieu
modal adalah segala aspek kebutuhan yang
harus dimiliki dan diusahakan oleh setiap manusiademi menjaga kelangsungan
hidupnya baik fisik maupun biologisnya.
Posisi dari berbagai agen di arena tersebut
ditentukan oleh jumlah dan bobot relative modal yang mereka kuasai. Bourdieu
bahkan juga menggunakan gambaran militer untuk menggambarkan arena dengan
menyebutnya “penempatan dan pendudukan strategis yang harus dipertahankan dan
dikuasai di arena pertempuran”. Adalah modal yang memungkinkan orang
mengendalikan nasibnya sendiri maupun nasib orang lain. Dalam ranah ekonomi,
modal ekonomi cenderung berupa insentif, modal cultural terdiri dari berbagai
pengetahuan yang legitim, modal sosial terdiri dari hubungan social bernialai
antar orang sedangkan modal simbolis tumbuh dari harga diri dan prestise.
Orang yang menduduki posisi dalam arena tersebut
menjalankan berbagai macam strategi. Gagasan ini menunjukan actor dalam
pemikiran Boudie paling tidak memiliki sedikit kebebasan dimana habitus tidak
menegaskan kemungkinan kalkulasi strategi dari pihak agen, namun strategi tidak
merujuk pada dijalankannya secara aktif alur tindakan yang berorientasi
obyektif yang mematuhi regularitas dan membentuk pola-pola kehendak yang dapat
dipahami secara rasional.
Yang keempat
yaitu Modal. Modal menurut Bourdieu adalah alat untuk berjuang. Modal melekat
dengan habitus dan menentukan posisi individu dalam sebuah ranah. Modal bisa
berubah, lenyap, dan bertambah sesuai dengan kondisi yang dihadapkan didepan
agen atau agensi, modal pun diperjuangkan sesuai dengan harapan individu
tentang modal tersebut. Dalam memandang sebuah modal, Bourdieu berbeda dengan
Marx dan bahkan mengkritik Marx karena terlalu menyederhanakan makna modal.
Jika menurut Marx modal hanya terpaku pada ekonomi, maka Bourdieu berpendapat
lebih dari itu, modal memiliki 4 bentuk, yaitu modal ekonomi, modal kultural,
modal sosial dan modal simbolik.
Awalnya, secara spesifik, Bourdieu hanya memaparkan
3 modal yaitu modal budaya, modal sosial dan modal ekonomi. Pertanyaan kenapa
modal simbolik tidak dimasukkan dalam modal yang spesifik, keberadaan modal
simbolik terdapat dalam setiap modal lain. Modal ekonomi tidak dapat berdiri
sendiri karena dalam sebuah kehidupan, modal lain juga menentukan dan menyokong
perjuangan seorang individu dalam sebuah ranah. Modal ekonomi diartikan sebagai
sarana produksi dan sarana finansial yang bisa dikonversikan menjadi
modal-modal lain. Modal kultural yang berupa pengetahuan, keterampilan dan
modal simbolik yang berupa harga diri atau prestise. Dalam pandangan Bourdieu
(1977:183) modal simbolik merupakan suatu bentuk modal ekonomi fisikal yang
telah mengalami transformasi dan karenannya telah tersamarkan, menghasilkan
efeknya yang tepat sepanjang, menyembunyikan fakta bahwa ia tampil dalam
bentuk-bentuk capital ‘material’ yang adalah pada hakikatnya sumber
efek-efeknya juga.
Bourdieu menjelaskan
modal budaya dalam tiga dimensi: yaitu dimensi manusia yang wujudnya adalah
badan, objek dalam bentuk apa saja yang pernah dihasilkan oleh manusia dan
institusional, khususnya menunjuk pada pendidikan. Dimensi manusia dari modal
budaya adalah:
1. Embodied state yaitu keadaan yang membadan atau
keadaaan yang terwujud dalam badan manusia atau yang menyatu seluruhnya dengan
manusia sebagai satu kesatuan dengan kata lain terinternalisasi dalam individu.
Modal budaya menurut Bourdieu, tidak bisa terbangun secara instan. contoh orang
kaya tidak selamanya harus tinggal dirumah mewah dengan lingkungan yang bersih,
asri dan rindang. Ada pula orang kaya yang tinggal di dalam gang sempit dengan
lingkungan yang tidak sebersih dan seindah tempat tinggal orang kaya
sebelumnya.
2. Objectified state. Sementara dimensi objek
dari capital budaya, dikenal sebagai objectified state yaitu suatu keadaan yang
sudah dibendakan atau dijadikan objek oleh manusia (objektifikasi dalam materi).
Ada elemen yang diakui secara sosial sehingga dalam masyarakat menilai dan
memahami suatu arti yang sama. Contohnya, musik jazz dan mozart (materi) yang
diidentikan sebagai aliran musik kelas menengah keatas dengan ritme irama yang
kompleks dan berat.
3. Institutionalized state. Adapun
dimensi institusional dari capital budaya menunjukkan suatu keadaan dimana
benda-benda itu sudah menunjukkan entisitas yang sama sekali terpisah dan
mandiri, yang diperlihatkan dalam system pendidikan. Dengan demikian, capital
budaya menunjuk yang pada keadaan yang berwujud potensial, bagi seseorang yang
diuangkan atau dipertukarkan dengan kapital-kapital lainnya (terlegitimasi
lembaga sosial). Seperti pendidikan yang terlegitimasi melalui sekolah (Lawang,
2004: 16-18).
Dari ketiga poin diatas, terlihat jelas usaha
Bourdieu untuk menyatukan antara individu dan masyarakat. Poin pertama,
menekankan pada peran individu bahwa modal budaya berasal dari proses
internalisasi yang dilakukan individu sedangkan pada poin kedua, objektifitas
materi juga mempengaruhi. Maka itu, modal budaya memiliki bersifat subjektif
dan objektif.
Bukan saja
modal budaya yang berpengaruh, namun juga modal sosial, yang memuat elemen
penting seperti. Jaringan. Yang
terbangun dari interaksi-relasi-jaringan. Keanggotaan
dalam kelompok. Seperti rasa memiliki dan termasuk dalam sebuah kelompok,
sehingga para anggotanya merasa memiliki identitas yang sama. Seperti: antar
sesama etnis tionghoa. Jika ada orang cina yang belanja di toko orang cina,
maka sangatlah mungkin dia akan mendapatkan potongan harga, berbeda dengan
orang madura yang belanja ke toko orang cina, akan sangat kecil kemungkinan
harganya normal bahkan dinaikan lebih tinggi dari biasanya. Kepemilikkan modal kolektif. Dari modal
sosial, kita bisa mendapatkan kepemilikan modal bersama. Tanpa disadari, relasi
yang kita bangun menciptakan rasa memiliki antar keanggotaan dan hal ini akan
menjadi ikatan yang berlangsung lama, beriringan dengan itu pula, segala modal
dan kepemilikan disana menjadi milik bersama (Bourdieu, 1984:127).
Dari keempat modal diatas, tidak ada yang
mendominasi, semua seimbang. Karena modal yang satu bisa dikonversi menjadi modal yang lain.
Tidak ada modal budayalah yang paling dominan, atau modal ekonomi atau modal
sosial dan modal simbolik. Karena Bourdieu berbicara tentang Praktik bukan
berbicara tentang tindakan.
Yang Kelima,
Praktik. Bourdieu memusatkan perhatiaan pada praktik untuk mengelakkan dilema
antara obyektivisme dan subyektivisme . Disebabkan karena menurutnya praktik
merupakan hasil hubungan dialektika antara struktur dan keagenan . Dalam hal
ini praktik tidak ditentukan secara obyektif , tetapi bukan pula hasil dari
kemauan bebas. Praktik memiliki rumus sendiri yaitu Habitus x Modal x Ranah=
Praktik. Dengan kata lain, habitus yang membawa modal untuk bersaing dalam
sebuah ranah adalah praktik karena individu menkolaborasi ketiga unsur tadi. Contohnya
jika kita melihat usaha seorang Andi untuk menang merebut hati orangtuanya.
Dalam field yaitu keluarga, para agen yang terdiri dari ayah, ibu dan anak-anak
sebenarnya juga memiliki sesuatu yang mereka perjuangkan. Andi dan ketiga kakak
beradiknya yang lain saling memperebutkan kasih sayang orang tua yang lebih
besar. Dengan mengandalkan modal budaya, pengetahuan Andi yang luas karena dia
dianggap murid yang cerdas, ayah dan ibu selalu memenuhi keinginan yang diminta
Andi karena mereka merasa Andi telah melakukan kewajibannya yaitu belajar,
Habitus Andi juga mempengaruhi dalam proses ini, Ia harus berusaha keras
belajar dan mencintai buku, dengan begitu Ia dapat mendapatkan pengetahuan yang
lebih luas selain yang Ia dapatkan dari sekolah. Uraian diatas tersebut adalah
praktik dari seorang Andi.
Yang keenam, Modus
dominasi. Bourdieu mencoba menunjukkan bahwa agen dan masyarakat akan terus
memproduksi dan mereproduksi pembedaan dalam lingkungan mereka. Pembedaan (distinction)
akan terus ada, karena setiap individu memiliki kadar modal yang berbeda-beda
antara satu dan lainnya. Dan tanpa disadari, kepemilikan tersebut menciptakan
identitas tersendiri bagi mereka yang merasa punya kesamaan dalam hal modal.
Hal tersebut akan lebih terlihat jika kita melihat bentuk selera setiap orang.
Menurut Boudieu, selera tercipta bukan dengan tiba-tiba dan bersifat instan,
melainkan melalui proses jangka panjang atau habitus. Selera ternyata
juga praktik yang antara lain membantu memberikan seorang individu maupun orang
lain pemahaman mengenai posisinya di dalam tatanan sosial. Selera mengungkapkan
sistem representasi yang khas pada kelompok sosial tertentu, posisi mereka
dalam masyarakat dan keinginan untuk menempatkan diri dalam tangga kekuasaan.
Selain distiction dan selera, adapun istilah kekerasan simbolik yang digunakan
Bourdieu untuk menunjukkan sebuah kekerasan yang tak disadari.
Dalam pandangan ini,
kekuasaan simbolik merupakan sebuah kekuasaan pentahbisan, sebuah kekuasaan
untuk menyembunyikan atau menampakkan sesuatu lewat simbol. Dalam
menyembunyikan dominasinya, kekuasaan simbolik menjalankan bentuk-bentuk yang
halus agar tak dikenali. Begitu halusnya praktik dominasi yang terjadi
menyebabkan mereka yang didominasi tidak sadar bahkan mereka menyerahkan
dirinya untuk masuk ke dalam lingkaran dominasi. Dominasi yang mengambil bentuk
halus inilah yang disebut Bourdieu sebagai kekerasan simbolik (symbolic
violence), yaitu sebuah kekerasan yang lembut (a gentle violence),
sebuah kekerasan yang tak kasat mata (imperceptible and visible). Secara
lebih lengkap, kekerasan simbolik merupakan suatu bentuk kekerasan yang halus
dan tak tampak yang dibaliknya menyembunyikan praktik dominasi.
Dan yang ketujuh, Doxa,
Ortodoxa dan Heterodoxa. Doxa akan lebih mudah dipahami
sebagai wacana yang dominan atau sesuatu yang taken for granted. Suatu
pemahaman itu ada dan tidak perlu dipertanyakan lagi karena memang sudah
mencapai suatu kebenaran yang diketahui bersama. Dunia yang tidak dipertanyakan
lagi menurut Bourdieu disebut undisputed truth. Adapun Orthodoxa
yaitu wacana yang terus mempertahankan keberadaan doxa dan mempunyai
tugas penting dalam menjaga integritas yang dimiliki doxa. Orthodoxa
bisanya terdiri dari kelompok-kelompok dominan yang berkuasa untuk terus
mempertahankan wacana yang berkaitan dengan kepentingan mereka serta secara
langsung selalu berlawanan dengan kelompok yang terdominasi lewat Heterodoxa
yaitu wacana yang bertentangan dengan Doxa. Pertentangan antara Ortodoxa
dan Heterodoxa terjadi dalam ruang yang disebut Bourdieu dengan the
universe of discourse (Bourdieu, 1977:177).
KORUPTOR WANITA (KASUS WISMA ATLET,
ANGELINA
SONDAKH)
Seperti yang kita
ketahui bersama, akhir-akhir
ini, kasus korupsi mulai membeberkan sejumlah nama wanita seperti Nunun
Nurbaeti, Miranda S Goeltom, Wa Ode Nurhayati, dan Mindo Rosalina Manulang. Tak
dapat dielakkan bahwa seorang Ibu yang semestinya menjadi panutan untuk
anak-anaknya yang nanti terjun ke dalam masyarakat malah terjerat kasus korupsi
yang biasanya identik dengan kegiatan yang dilakukan oleh kaum Adam. Sama
halnya dengan Angelina Sondakh yang diharapkan dapat berbakti demi memajukan
bangsa Indonesia menjadi lebih baik karena gelar Putri Indonesia 2001 yang
telah digapainya. Namun berbanding terbalik dengan apa yang terjadi saat ini,
Angelina merupakan tersangka kasus korupsi wisma atlet dan juga dianggap menerima
bagian dari “Apel Malang”. Kasusnya hingga saat ini masih mengambang dan
sepertinya KPK bertindak sangat lambat dalam hal ini, mungkin dianggap bisa
berabe jika kasus ini terus diusut karena bisa merusak citra salah satu partai
terbesar di Indonesia, yaitu Demokrat. Dalam paper ini, kami akan lebih
menyoroti ke Angelina Sondakh (Angie), yang bisa merepresentasikan pola hidup
para wanita lainnya yang dianggap sebagai koruptor.
Jika melihat latar
belakang keluarga Angelina Sondakh yang berasal dari Manado, dapat dikatakan
dia berasal dari keluarga yang berada dan terdidik. Lihat saja sejumlah
prestasi yang telah disandang oleh seorang Angelina Sondakh, dari Juara debat
ilmiah, juara pidato berbahasa inggris se Sulawesi Utara, sampai Juara Puteri
Ayu dan Miss Indonesia tahun 2001. Sosoknya yang smart, cantik,
anggun, dan dianggap wanita sayang keluarga ini sering dipuja-puji dan didukung
oleh para penggemarnya sekalipun sekarang memang dia sedang terkait dengan
kasus korupsi. Namun, benar atau tidak keterkaitan dia di kasus tersebut
tidaklah penting karena kelompok kami akan mencoba menganalisis dari sisi
strukturalisme genetik seorang Angelina Sondakh.
Angie sama halnya dengan
para koruptor wanita lainnya, sering diidentikan dengan gaya hidup glamour,
dianggap telah terbiasa dengan tas bermerk internasional, sepatu dengan motif
tertentu, baju yang berasal dari perancang ternama, dll. Itu semua bukanlah
salah mereka, karena itu sudah menjadi habitus para wanita kaya yang hidup
dalam jabatan elite. Tanpa Angie sadari, Ia telah terinternalisasi dalam suatu
pola pikir tentang bagaimana seharusnya penampilannya di publik sebagai
penyandang miss Indonesia dan anggota DPR. Melihat biografi Angie,
kehidupannya selalu berbarengan dengan prestasi-prestasi, dan namanya populer
kembali saat ia menikah dengan
Adjie. Ada kemungkinan besar bahwa pola
pandang Angie tentang orang populer harus seperti apa ditampilkan oleh dirinya.
Belum lagi dengan pengaruh para kaum elite sekarang yang lebih menekankan pada
kekayaan pribadi daripada mensejahterakan masyarakat. Bisa saja, tindakan
korupsi Angie dipengaruhi oleh lingkungan Pemerintah yang sudah rusak dengan sistem korupsi berjamaah. Namun disisi
lain, Angie pun mempunyai pola hidup glamour dan tidak bisa terlepas
dari uang yang berjumlah banyak karena dia harus tetap merawat dan menjaga
penampilannya untuk terus terlihat cantik didepan publik. Dari analisis
kelompok kami, Angie secara tidak sadar tertekan dengan gelar yang disandangnya
apalagi saat Ia masuk ke ranah pemerintah dengan iklim korupsi seperti sekarang
ini.
Habitus yang bekerja
di bawah sadar, akan membentuk selera pribadi secara nyata melalui cara
individu menerapkan sistem klasifikasi tersebut. Sistem klasifikasi tsb
beroperasi secara dikotomis seperti tinggi/rendah, maskulin/feminim,
putih/hitam, baik/buruk, dan seterusnya. Habitus membentuk “Selera” (Taste),
yang akhirnya bisa mempengaruhi gaya hidup manusia secara individu, maupun
kelompok. Begitu pula dengan Habitus Angie yang terlihat dari
seleranya dalam berpakaian, pola makan, mobil, musik, cara berdandan, aksesories
yang dia gunakan sampai cara berbicara Angie yang khas dari golongan terpelajar
yang benar-benar menunjukkan berbagai prestasi yang perah diraihnya. Dari situ,
selera tadi menunjukkan ada distinction bahwa ternyata wanita yang
bekerja sebagai elite parpol/ pemerintah yang basicnya sebagai seorang
artis memiliki gaya hidup mereka sendiri. Berbeda dengan wanita yang memang
benar-benar berkecimpung lama didunia pemerintahan atau wanita yang tidak
memiliki latar belakang dari dunia hiburan. Mereka biasanya menunjukan
eksistensi diri mereka melalui image yang didapat dari karir keartisannya,
berbeda dengan orang yang memang sudah lama berkecimpung di ranah pemerintahan,
cenderung akan menunjukan dunia politik, seperti Sri Mulyani Misalnya dia
mampuh menunjukan kepopulerannya melalui prestasi yang di perolehnya sebagai
salah satu direktur World Bank. Jadi, dapat dilihat bahwa Angelina Sondakh yang
memiliki basic artis mengandalkan popularitasnya sedangkan Sri Mulyani
memang murni karena prestasi dan kepandaiannya sebagai seorang ekonom, sehingga
selera dan gaya hidup Angline lebih tinggi daripada Mulyani. Mulai dari label
tas, model kacamata, model celana, ataupun kebiasaan mereka setiap hari pun berbeda.
Angie mungkin harus ke salon setiap hari dan mempertahankan perawatan tubuhnya
sedangkan Mulyani dengan tampilannya yang sederhana ternyata mempunyai wawasan
berpikir yang lebih cerdas dari Angeline. Namun walaupun begitu, Angie ternyata
bisa dengan mudah masuk di dunia politik dan berpartisipasi didalam ranah
pemerintahan.
Saat terjerat dalam
kasus korupsi, ada beberapa modal yang terlihat digunakan Angie dalam
melancarkan tindakannya, yang pertama yaitu modal ekonomi, sudah jelas ini yang paling menentukan
berhasil tidaknya proses tawar-menawar untuk melakukan tindakan korupsi dengan
para aparatur-aparatur terkait. Yang
kedua yaitu modal budaya, pengetahuan dan kelihaian Angie yang tercermin saat
Ia bertutur kata dan melobi yang membawanya masuk kedunia Pemerintahan dan
dipercayakan menjadi anggota DPR dari partai Demokrat, jika dilihat dari dimensi
embodied state, contohnya Angie sebagai politikus muda yang berwajah
cantik dan sri mulyani sebagai politikus senior berbeda dalam hal gaya hidup
walaupun mereka berdua memiliki tingkat ekonomi yang sama-sama tinggi, dari
dimensi objektivikasi state dapat dilihat dari gaya hidup glamour yang
tercermin dari stylenya Angeline dan dari dimensi Institutionalized state
terlihat dari pendidikan S2-nya sehingga
Ia dapat meraih gelar miss Indonesia 2001. Yang ketiga modal sosial
yaitu jaringan, kenalan, sangat terlihat dalam kasus korupsi yang terkait tidak
mungkin dia melakukannya sendiri karena kasus ini juga akan menjerat para aktor
korupsi selain Angie dan kemungkinan besar pula kasus ini mengorbankan Angie
seakan-akan Ia aktornya karena dampak dari jaringan yang bisa juga dimanfaatkan
oleh seseorang untuk menjatuhkan pamor Angeline yaitu Demokrat. Demokrat juga
bisa menjadi modal sosial yang kuat, karena kekuatan jaringan dalam parpol ini
akhir-akhir ini menunjukkan taringnya sehingga seakan-akan kasus yang
bersangkutpaut dengan orang internal Demokrat lebih sulit untuk ditangani oleh
pihak kepolisian dan para jaksa. Kemungkinan besar karena ini adalah partainya
Bapak Presiden, walaupun Beliau tidak memiliki kekuasaan atau tidak menjabat
lagi sebagai seorang Ketua Partai Demokrat, namun ia memiliki otoritas yang
kuat. Sehingga dapat disimpulkan bahwa hasil dari jaringan yang kuat dari
partai ini adalah kekuasaan yang menjadi kepemilikan bersama bagi para
anggotanya. Yang keempat, modal simbolik yaitu berasal dari pendidikan Angie
(S2) dan gelar miss Indonesia.Modal simbolik menciptakan sebuah prestise kepada
seorang Angie, Ia dianggap sosok yang cerdas dan lihai dalam berututur kata,
itu terlihat saat Ia mengikuti proses hingga ia terpilih menjadi juara Miss
Indonesia 2001. Modal ini juga bisa digunakan Angie saat Ia melakukan tindakan
korupsi seakan-akan masyarakat tidak akan tahu karena gelar yang dibawanya
menunjukkan citranya.
Semua modal sudah
dimiliki olehnya, tidak ada yang kurang sedikit pun. Namun ternyata modal-modal
tersebut bisa juga disiasati untuk melakukan korupsi atau untuk menempatkan
Angie sebagai aktor korupsi. Maksud kelompok kami, Pandangan masyarakat yang
berasal dari modal budaya, yang selalu menyangkutpautkan wanita dengan gaya
hidupnya memang merupakan titik lemah wanita untuk dijadikan sebagai korban.
Jika ia tidak jeli, ia bisa saja tidak menyadari bahwa dirinya telah masuk perangkap
para kerabatnya yang sebenarnya aktor utama tindakn korupsi. Walaupun modal
sosial yang dimiliki Angie cukup kuat, para aktor korupsi lainnya juga tidak
kalah dalam hal membangun jaringan dan melobi, sehingga dapat terlihat sekarang
banyak orang-orang yang diduga sebagai ikan paus tidak ditangkap, terlindungi
oleh benteng raksasa, malahan dari sekian aktor yang terlibat, nama-nama yang
dibeberkan kaitannya dengan kasus korupsi wisama atlet hanya itu-itu saja,
paling hanya Angie, angie dan angie itupun status seperti apa masih mengambang bahkan
ia sempat bekerja kembali sebagai anggota DPR padahal dirinya masih terkait
masalah korupsi. Hal ini tidak mungkin terjadi jika modal sosial dan modal
ekonomi (seperti kasus penyuapan jaksa) bermain disini. Modal simbolik sudah
jelas berada didalam ketiga modal tersebut, modal sosial, budaya dan ekonomi
menunjukkan bahwa dia seorang elite yang kaya, terhormat, dengan harga diri
yang tinggi, sehingga para jaksa dan pihak KPK pun takluk untuk mengusut tuntas
kasus yang membawa nama dirinya apalagi melihat posisi Angie yang berasal dari
salah satu partai besar, partai Presiden RI kita, Demokrat.
Setelah adanya modal
dan habitus, posisi Angie yaitu berada diranah pemerintahan (politik dan
dunia partai) dan ranah hiburan (dunia keartisan). Disana dia menemukan modal baru, modal budaya
korupsi, dan jaringan serta sindikat-sindikatnya. Modal ekonomi yang tercipta
dari transaksi gelap antar para pejabat, dan perubahan pemahaman tentang visi
misi dari seorang Pemerintahan sejati ke interest saja. Dan diranah itu
ia akan bersaing dengan para aktor lain supaya tidak terkena kasus korupsi,
tapi ternyata Ia terjerat kasus tersebut karena nyanyian dari seorang
Nazaruddin, diranah tersebut modal ekonomi dan modal sosial bisa sangat efektif
digunakan oleh Angie untuk menentukan
nasibnya, di dalam jeruji besi atau bebas dengan perlindungan para stakeholder.
Seorang Angie memang memiliki habitus, dan dia bisa berimprovisasi untuk
memanfaatkan modal-modal tadi untuk bisa survive dalam sebuah field
hingga kebutuhannya tercapai.
Walaupun bukan fakta
yang sebenarnya, beberapa kemungkinan diatas hanya merupakan analisis kelompok
kami jika dipandang dari perspektif strukturalime genetiknya Bourdieu.
Kemungkinan ganda terlihat dari sisi Angie dan strukturnya. Bisa saja memang
Angie yang rakus akan kekayaan sehingga ia terus haus akan keberlimpahan
padahal latar belakang keluarga memang sudah berada apalagi suaminya yang kaya
raya itu. Tapi bisa saja Angie hanyalah korban yang diciptakan oleh struktur.
Sistem Pemerintahan yang korup akan terus mencari korban untuk menutupi
wajahnya didepan masyarakat. Dengan mencari korban yang dianggap akan sangat
mempengaruhi perhatian masyarakat pada dirinya yaitu sosok yang seharusnya
mengabdi pada masyarakat dengan gelar “luar biasa” untuk seorang wanita cantik
dan cerdas yaitu Miss Indonesia. Dari penjelasan tersebut sebenarnya bisa
dijelaskan kekerasan simbolik yang berasal dari konstruksi sosial masyarakat.
Seorang wanita sering diidentikan sebagai makhluk yang lemah, manja, sensitive
berbeda dengan pria. Pandangan tersebut bisa saja menjadi kelemahan atau bahkan
kekuatan wanita. Wanita yang dianggap lemah sangat mudah menjadi sasaran empuk
kasus korupsi, karena sikap dia yang tidak ingin ikut dapat bagian “apel
malang”, dan sikap keibuan yang sering terbawa dalam setiap tindakannya,
menjadi objek dan korban yang paling mudah, apalagi dengan pandangan masyarakat
yang beranggapan bahwa wanita identik dengan kegilaannya terhadap perhiasan dan
sering menggoda lelaki sehingga pantas saja jika seorang Angie terjerat kasus
korupsi apalagi dengan kecantikkannya yang bisa menggaet lelaki manapun
untuk membantunya agar tidak terjerat
hukum yang berat. Tapi beberapa pendapat diatas tidaklah bermaksud untuk pro
atau membela Angie, karena didalam konstruksi sosial masyarakat, seorang wanita
yang lemah lembut bisa saja menggunakan simbol tersebut sebagai senjata melawan
pria jika berurusan dengan masalah politik.
Dan analisis terakhir
dari kelompok kami yaitu Doxa, Ortodoxa dan heteredoxa dalam
kasus korupsi yang dilakukan oleh Angie. Yang jelas menjadi kenyataan yang
tidak bisa dipungkiri sekarang yaitu Doxa, wacana bahwa namanya
Pemerintah pasti korupsi, yang namanya politik itu kotor. Istilah-istilah itu tidak
bisa dilepas dari alam pikir masyarakat, apalagi jika kita bertanya pada rakyat
miskin yang merupakan korban utama pendominasian yang tidak menguntungkan oleh
pihak yang terdominasi.
Ortodoxa berasal dari
masyarakat dan diri Angie sendiri. Kasus korupsi sudah sering terjadi di
Indonesia, sehingga masyarakat sudah menganggap itu adalah hal yang biasa bahwa
Angie korupsi. Sudah tentu menurut mereka, perempuan dengan penampilan yang
mencerminkan kekayaan yang tidak main-main,
masuk ke dunia pemerintahan dan bergelut di ranah politik,
ujung-ujungnya akan korupsi juga. Sama halnya dengan Sri Mulyani, yang dikenal
sosok cerdas, toh jadi tersangka juga dalam kasus korupsi, kasus yang sama
dengan Angie. Yang terinternalisasi pemikiran seperti itu bukan saja masyarakat,
tapi lebih lagi dari pribadi Angie sendiri, dia merasa tindakan menyimpang
dalam dunia politik adalah hal yang bisa, malah sudah menjadi sesuatu yang
lumrah jika dia korupsi dan tidak menjadi masalah kalau masyarakat tau dan
mencacinya, karena suhu panas juga akan menurun dengan sendirinya, disapu oleh
wacana lain yang bisa dialihkan oleh media.
Lalu heterodoxa
yang biasanya muncul dari kaum terpelajar dan pengkritik KKN di Indonesia.
Mereka sering demo, memunculkan wacana anti korupsi dan usaha-usaha lainnya
yang bisa membangunkan masyarakat bahwa sebenarnya korupsi bisa membunuh bangsa
secara perlahan-lahan. Namun, usaha ini lebih sering gagal daripada berhasil
jika diterapkan, buktinya saja tidak ada yang berani melawan atau membuka kasus
sekaligus dalang utama suatu kasus korupsi dan berani menindak serta menangkap
sang dalang tersebut. Seperti pasir di lautan, tidak mungkin akan mengambang
dipermukaan air laut, tapi ia akan senantiasa dibawah dan menunggu kapan tiba
saatnya dia diangkat keluar air, menimbun dan menutupi seluruh permukaan air
menjadi daratan. Seperti itulah heterodoxa dalam kasus ini, sepanjang
perjalanan politik, doxa diatas belum berhasil disingkirkan di
Indonesia. Apriori tentang dunia politik di negara kita memang tinggi dan
memerlukan proses dan usaha yang lebih giat lagi untuk menciptakan image
positif dari bangsa untuk negara.
DAFTAR PUSTAKA
Bourdieu, Pierre. 1977. Outline Of Theory of Practice. Cambridge:
Polity Press
_____________. 1984. Distinction:
A Social Critique of the Judgement of Taste
(Translated
by Richard Nice). United State Of America: Harvard College
Haryatmoko. 2003. Menyingkap
Kepalsuan Budaya Penguasa: Landasan Teoretis Gerakan Sosial Menurut Pierre Bourdieu,
dalam Jurnal Kebudayaan Basis, Nomor 11–12, Tahun ke-52, November–Desember
Ritzer, George dan Douglas Goodman. 2004. Teori Sosiologi Modern.
Jakarta: Kencana
Lawang, R.M.Z. 2004. Kapital Sosial Dalam Perspektif Sosiologik:
Suatu Pengantar. Jakarta: FISIP UI
Koran Kompas. Seruan Jujur Untuk Angeline Sondakh. (Selasa, 1
Mei 2012, penulis: Virna Puspa Setyorini)
Daftar kekayaan
Angeline Sondakh. (Diakses tanggal 25 April 2012 di http://www.tribunnews.com/2012/02/05/ini-kekayaan-angelina-sondakh)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar